Hacktiv8
Feb 7, 2024
Di negara maju seperti US, banyak yang berpendapat bahwa menginvestasikan uang untuk mengambil gelar sarjana di perguruan tinggi dilihat tidak sebanding dengan apa yang akan didapatkan di kemudian hari. Mereka melihat, apabila seseorang memilih untuk mengambil program belajar singkat seperti coding bootcamp ataupun kursus, mereka justru lebih memiliki kepastian untuk mendapatkan jaminan masa depan yang lebih baik. Bahkan ada yang berpendapat, apabila mereka memilih untuk terjun langsung ke dalam lingkungan kerja, mereka pun dapat sukses meskipun tidak didukung oleh latar belakang pendidikan yang sesuai. Learning by Doing, itu adalah prinsip yang seringkali mereka terapkan.
Ada perbedaan antara cara kerja industri kerja dengan apa yang diajarkan oleh perguruan tinggi. Perbedaan cara kerja ini menimbulkan sebuah gap antara apa yang ‘dihasilkan’ oleh perguruan tinggi dengan apa yang diharapkan oleh industri kerja jaman sekarang. Hal ini membuat masyarakat negara maju mulai melihat perguruan tinggi bukan sebagai jalan terbaik untuk mencapai karir impian. Justin Kan, founder dari Justin.TV dan Exec, pernah menuangkan pendapatnya ke dalam sebuah artikel dengan topik: “Saya tidak peduli pada gelar atau pengalaman edukasimu”. Dalam artikel tersebut dia menegaskan bahwa untuk membangun software yang berkualitas, semua kembali kepada kemampuan seseorang untuk bekerja sama dalam tim, bagaimana mereka menguasai bahasa pemrograman, algoritma-algoritma serta paradigma di dalamnya.
Sillicon Valley, yang merupakan daerah penghasil industri teknologi ternama dan terbesar di dunia, menjadi saksi bisu bahwa gelar yang didapatkan di perguruan tinggi tidak menjamin seseorang untuk direkrut. Perusahaan kelas internasional seperti Google, Facebook, hingga Uber, memiliki hobi merekrut lulusan coding bootcamp yang seringkali disebut sebagai rapid education karena berhasil mencetak developer sukses setiap bulannya. Kuantitas developer yang direkrut, jauh lebih banyak dibandingkan developer ‘kelahiran’ perguruan tinggi yang dimana membutuhkan waktu enam bulan hingga satu tahun untuk merekrut.
Tentunya coding bootcamp kini mulai menarik perhatian Anda bukan? Bagaimana coding bootcamp dapat bersaing dengan perguruan tinggi tentunya memunculkan pertanyaan sendiri di benak Anda. Di Indonesia, coding bootcamp bisa dibilang masuk dalam kategori ‘anak baru’ apabila dibandingkan tempat kursus yang ada. Berbeda dengan di US, coding bootcamp sudah menjadi sarana edukasi yang menjamur di berbagai kota, bahkan bisa dibilang paling diminati. Berdasarkan CourseReport, sebuah portal informasi coding bootcamp ternama di seluruh dunia, di US sendiri terdapat lebih dari tiga ratus coding bootcamp yang khusus mengajarkan Full-Stack Web Development. Belum termasuk materi lainnya seperti Mobile Development, Product Development, ataupun UI/UX. Sedangkan CourseReport mencatat hanya ada 1 coding bootcamp di Jakarta, yaitu HACKTIV8.
Perlu diketahui, yang harus di-highlight dalam pembahasan ini bukanlah lulusan mana yang akan menjadi yang terbaik. Perguruan tinggi dan coding bootcamp memiliki peranan masing-masing yang cukup signifikan untuk mencetak developer yang andal. Perguruan tinggi, dengan pendekatan akademis dalam proses pengajarannya, mampu menghasilkan developer yang kuat dari segi logika matematika dan algoritma. Sedangkan coding bootcamp, dengan pendekatan lebih praktikal, melahirkan developer yang mampu menguasai bahasa dan teknologi yang relevan dengan kebutuhan industri.
Yang perlu dicermati bersama bukanlah lulusan mana yang lebih baik apabila memasuki dunia kerja, namun seberapa besar biaya yang harus diinvestasikan untuk menghasilkan developer siap kerja. Di Indonesia, terdapat stereotipe yang menyatakan bahwa latar belakang perguruan tinggi seseorang sangat berpengaruh terhadap penerimaan seseorang di perusahaan. Mungkin pola pikir seperti itu tidak salah, karena memang lulusan dari beberapa perguruan tinggi tertentu memang banyak dicari oleh perusahaan ternama. Namun, apakah tidak ada alternatif lain bagi para calon developer untuk menginvestasikan jumlah uang yang lebih kecil, tetapi memiliki hasil yang setara dengan lulusan perguruan tinggi?
Sebuah jurnal yang berjudul Smart Investor in MBA memberikan gambaran tentang menginvestasikan biaya demi mendapatkan gelar MBA dalam kurun waktu dua tahun dibandingkan dengan menginvestasikan biaya di DevBootcamp, sebuah coding bootcamp di US, selama 10 minggu. Biaya yang diinvestasikan jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan biaya yang harus diinvestasikan di perguruan tinggi ternama di US.
Biaya tidak hanya semata-mata berbicara mengenai nominal uang yang dikeluarkan. Banyaknya waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pendidikan juga harus diperhitungkan. Menginvestasikan waktu berbicara mengenai seberapa banyak waktu yang seharusnya dihabiskan untuk menguasai sebuah bidang yang dibutuhkan oleh dunia profesional. Apabila mengambil program belajar yang memiliki jangka waktu yang lebih singkat dapat mengurangi investasi waktu Anda, kenapa tidak? Akan tetapi, perlu dicatat bahwa memang ada beberapa bidang memungkinkan untuk tidak dipelajari perguruan tinggi, tetapi ada juga bidang lainnya yang tidak dapat dikuasai hanya dengan dengan program singkat.
Tentunya semua hal tersebut kembali kepada si pelajar, bagaimana mereka memanfaatkan waktu dan biaya yang telah diinvestasikan dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi, yang harus diperhatikan oleh mereka adalah bagaimana dua elemen tersebut dapat dihitung dan diukur ke depannya, tidak hanya berhenti saat melihat seberapa besar nominal biaya yang perlu dibayarkan di muka. Ini saatnya bagi kita untuk sama-sama belajar bagaimana cara menginvestasikan uang dan waktu yang kita miliki, serta mempertimbangkan rencana masa depan kita beberapa bulan dan tahun ke depan agar kita mampu memilih alternatif mana yang paling cocok bagi kita untuk meluncurkan karir secepat mungkin. Apabila kita bisa menemukan cara yang lebih menghemat ‘biaya’ investasi kita tentunya lebih menyenangkan bukan?